Seminar Nasional IKJ

Berangkat dari tema Dies Natalis sebelumnya yang berorientasi pada kebertahanan, tahun ini tema Dies Natalis IKJ ke-52 adalah “IKJ Gamechanging: Transformasi demi perubahan”. Tema Dies Natalis ke-52 ini turut menjadi dasar pemikiran tema Seminar Nasional IKJ, untuk mendapatkan pemahaman situasi, pemetaan potensi, penentuan posisi dan pembentukan strategi terkait pengembangan dan pertumbuhan dalam rangka menghadapi tantangan perubahan. Selanjutnya ‘Delivering Messages Between Spaces’, menjadi tema besar yang akan mengakomodir berbagai hasil pemikiran tentang seni yang terkait dengan ruang fisik, ruang virtual, dan ruang hukum dan berbagai perubahan teknologi dan media yang secara signifikan memberikan pengaruh pada pola pertumbuhan dan perkembangan seni.
Beberapa tahun terakhir ini, kita dapat melihat di dunia seni terdapat banyak proses – yang diluar perkiraan – dapat dilakukan tanpa adanya keterlibatan ruang fisik guna menyelesaikan proses tersebut. Sebagai contoh, pada ranah seni, banyak pertunjukan yang digelar melalui media virtual. Sedangkan terkait bidang akademis, ada sedikit banyak materi yang dapat disampaikan tanpa kehadiran sang dosen dan sang mahasiswa pada satu tempat yang sama. Kondisi ini secara tidak langsung mereduksi peran ruang fisik. Pada sisi lain, pemanfaatan ruang virtual sebagai media interaksi justru meningkat drastis. Adanya kondisi pandemi yang menyebabkan munculnya sejumlah regulasi sosial terkait pola interaksi fisik, menjadikan ruang virtual sebagai media formal. Dapat dikatakan bahwa terdapat banyak fungsi atau peran dari ruang fisik yang diambil alih oleh ruang virtual.
Kemunculan platform dunia virtual yang mampu mengakomodir sistem kepemilikan karya seni secara virtual, juga menjadi suatu objek yang memerlukan pendekatan berbeda untuk memahami dan memanfaatkannya. Terkait kepemilikan, gencarnya sosialisasi terhadap regulasi perlindungan karya seni secara hukum juga menjadi satu hal yang memerlukan pemahaman dan pengetahuan tersendiri.
Layaknya hubungan aksi dan reaksi, setiap perubahan tentu menimbulkan tantangan. Kondisi ini memberikan tantangan baru, salah satunya adalah mempertahankan dan/atau mengembangkan kualitas dari seni itu sendiri baik secara akademis maupun non-akademis. Tantangan ini setidaknya dapat dipecah menjadi tiga aspek; kualitas materi, mekanisme penyampaian dan penerimaan materi, dan mekanisme perlindungan materi. Kembali pada cara lama dapat menjadi alternatif, namun belum tentu solutif. Diperlukan suatu pendekatan baru guna menghadapi tantangan ini.


Perubahan yang terjadi memberikan ragam persepsi berbeda terkait seni, baik secara teori maupun praktik. Kemunculan karya seni nirfisik pada dunia virtual, peningkatan kepedulian terhadap mekanisme perlindungan karya seni secara hukum, dan serangkaian perubahan dalam tatanan sosial masyarakat sedikit banyak berpengaruh terhadap relevansi kualitas materi itu sendiri. Dibutuhkan evaluasi dan adaptasi pada materi terhadap perubahan yang ada.
Diperlukan serangkaian evaluasi dan modifikasi agar materi yang disampaikan mampu mengakomodir kebutuhan dalam menghadapi tantangan yang ada. Mekanisme penyampaian dan penerimaan materi seringkali mengalami perubahan ketika sampai kepada penerima. Hal ini tentu menimbulkan bias dalam pemahaman akan makna dari pesan yang disampaikan. Adanya keterbatasan ruang fisik berpotensi memperlebar gap yang ada. Guna menghadapi hal ini, diperlukan serangkaian inovasi dalam rangka menjaga kualitas pesan yang disampaikan.
Materi yang diciptakan oleh seorang seniman – baik dalam rangka akademis maupun non-akademis – berpotensi untuk disalahgunakan oleh pihak tertentu. Hal ini dapat memberikan dampak yang cenderung negatif kepada sang pencipta itu sendiri. Secara nasional, pemerintah telah membuat perangkat hukum guna menghadapi hal tersebut. Namun pada tingkat internasional, kemunculan platform NFT (Non Fungible Token) yang bersifat borderless (lintas batas) juga memiliki keterkaitan terhadap hal kepemilikan karya seni.
Seni menjadi bagian yang tidak terlepas dari peran dalam pembangunan karakter, kreativitas, inovasi, pengembangan diri bermula dari masyarakat lokal, nasional dan terus hingga menjadi bagian dari identitas global (Ismar,2017) dan demikian menjadi bagian yang melekat dengan revolusi mental itu sendiri. Kesinambungan antara Institut Kesenian Jakarta yang berada di jantung kota Jakarta yang sangat kaya akan warisan budayanya yang melekat pada masyarakat diasporanya, yang berasal dari berbagai etnis dan bangsa selain dari masyarakat indigenous-nya, telah bersama-sama bertransformasi menjadi masyarakat Urban.
Dalam konteks ini peran dunia pendidikan, khususnya Lembaga Pendidikan Tinggi Seni, diharapkan dapat mengambil bagian dalam mendukung upaya penguatan karakter kebangsaan yang berkebhinekaan di Indonesia. Meskipun saat ini disaat pandemi Covid 19 masih melanda dunia, masih banyak persoalan yang tengah dihadapi oleh Lembaga Pendidikan Seni di Indonesia, seperti masalah kurikulum dan kelangkaan tenaga sumber daya pengajar seni di sekolah-sekolah, namun banyak pendapat telah dilontarkan oleh para pakar pendidikan terkait dengan peran penting pendidikan seni dalam membangun karakter suatu bangsa. Apalagi kita menyadari bahwa aspek seni itu sendiri yang turut melahirkan kenyataan akan kondisi kebhinekaan pada bangsa Indonesia. Oleh karena itu, idealnya seni dapat menjadi alat pemersatu dan perekat di antara semua elemen-elemen bangsa Indonesia manakala kehadirannya dapat dimaknai secara positif dan dilandasi oleh sikap rasa saling menghargai.
Manifestasi ekspresi seni yang dimiliki oleh masing-masing kelompok etnik dimana pun memiliki keunikannya sendiri-sendiri, namun dibalik kenyataan itu pada setiap manifestasi seni terkandung muatan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki dan bersifat universal, sebagai hasil kreativitas dan rasa estetika manusia. Oleh karenanya, pengungkapan suatu ekspresi estetik melalui karya seni tidak hanya menjadi media bagi integrasi dan identitas atas suatu kelompok pemangku budaya tertentu, tetapi juga memiliki pesona daya pikat dan katarsis sosial bagi kelompok-kelompok etnik lainnya. Oleh karenanya, kehadiran kesenian dapat berkontribusi besar dalam membangun karakter bangsa karena dalam seni terkandung nilai-nilai kemanusiaan yang dapat dikembangkan menjadi landasan tatanan kehidupan bermasyarakat.

Subtema
Peserta Pemakalah
Akademisi
Dosen dan Mahasiswa
Praktisi
Pelaku Seni Kebudayaan dan Umum
Pembicara Utama
Dr. Marusya Nainggolan, M.Mus.
Moderator

Dr. Marusya Nainggolan, M.Mus.
Moderator
Lahir di Bogor, 1954, alumnus pertama (1979) Jurusan Musik Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta ini adalah penggagas komposisi Mars IKJ. Setelah lulus IKJ musisi/komposer produktif ini melanjutkan studi ke New South Wales State Conversatorium of Music Sidney, Australia (1980-1994) program beasiswa dari Australian Department of Foreign Affairs, melanjutkan studinya di bidang piano pada Sonya Hanke, komponis pada Ann Boyd dan Dr. Graham Hair, serta analisa pada Dr. J. O’Brian. Peraih Piala Ismail Marzuki pada Festival Film Indonesia 1985 kembali mendapat beasiswa dari Yayasan Fulbright untuk memperdalam studi dalam bidang komposisi di Boston University, Amerika Serikat, di bawah bimbingan Prof. Theodore Antoniou, Dr. M. Merryman serta Prof. Bernard Rands pada bidang analisa (1987-1989). Setelah mendapat gelar Master, ia kembali ke Indonesia dan mengajar ilmu Harmoni di Jurusan Musik IKJ, serta menjadi anggota Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta. Tahun 1995-2002, Usya aktif menjabat Sekjen Indonesian Copyright Society. Tahun 2004-2010 ia sempat memegang jabatan struktural IKJ sekaligus menjadi direktur Gedung Kesenian Jakarta (2005-2010). Dosen senior di Institut Kesenian Jakarta dan ketua DIKLAT PAPRI ini adalah pemimpin Marusya Chamber Music yang berhasil meraih penghargaan gold prize pada Seoul International Senior Arts Festival 2009. Setelah merampungkan studi S3-nya di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, jurusan ‘cultural studies’, dengan meneliti komposisi Roro Jonggrang ciptaan Tri Suci Kamal, kini ia pengajar untuk studi dan kajian Eropa di UI dan menjadi konselor musik untuk studi musik dan kesehatan di Departemen Kesehatan Nasional.
Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto
Universitas Katolik Parahyangan

Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto
Universitas Katolik Parahyangan
Pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 6 Maret 1956 ini mendapatkan S2 dan S3 (dengan predikat summa cum laude) di bidang Filsafat dari Universitās San Tomasso, Roma, Italia. Penulis berbagai buku ihwal postmodernisme, persoalan kebudayaan, agama dan seni kontemporer ini dikenal sebagai ahli di bidang filsafat kebudayaan serta paradigma postmodernisme. Sekjen International Society for Universal Dialogue ( 2005-2007) dan penerima Anugerah Budaya Kota Bandung 2013 ini merupakan fellow pada beberapa institusi filsafat, a.l. : di Tokyo, Copenhagen, Washington DC, dan Hongkong. Saat ini ia mengajar di Universitas Katolik Parahyangan, Pascasarjana FSRD ITB, dan UIN Sunan Gunungjati (Bandung).
Prof. Dr. Een Herdiani, S.Sn., M.Hum.
ISBI Bandung

Prof. Dr. Een Herdiani, S.Sn., M.Hum.
ISBI Bandung
Dilahirkan pada tanggal 6 Juli 1967, di kota Ciamis, Jawa Barat, alumnus Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung dan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta serta Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, meraih gelar doktor di Program Studi Sastra/Sejarah di Universitas Padjadjaran Bandung (2012). Totalitas Een Herdiani selaku Penari, Penata, dan Peneliti Tari dalam menggeluti dunia tari dan pendidikan tertuang saat menjalankan amanah menjadi nakhoda institusi tempatnya bernaung, sebagai Ketua STSI Bandung, kini Rektor ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) sejak tahun 2014 hingga kini. Melalui orasi ilmiahnya berjudul "Tubuh Artefak Kultural" penerima penghargaan Satya Lencana ini telah dikukuhkan sebagai Profesor (Guru Besar) dalam bidang ilmu Sejarah Tari (18 Oktober 2021).
Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum.
IKJ

Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum.
IKJ
Kelahiran 19 Juni 1958 di Boston, Massachusetts, Amerika namun tumbuh dewasa di Yogyakarta ini adalah mantan Rektor Institut Kesenian Jakarta periode 2016-2020. Bekerja sebagai wartawan sejak 1977 sembari kuliah di Jurusan Sinematografi, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), antara lain di Majalah kampus Cikini, pimpinan redaksi Sinema Indonesia (1980), redaktur Zaman (1983-1984) dan majalah Jakarta-Jakarta (1985—1992). Alumnus IKJ 1994 ini kemudian menyelesaikan studi di Magister Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia (2000) dan lima tahun kemudian ia meraih gelar Doktor Ilmu Sastra dari Universitas Indonesia (2007) serta mengajar di berbagai perguruan tinggi. Penulis fiksi maupun nonfiksi yang seringkali mengedepankan masalah sosial dan politik ini mendapat sejumlah penghargaan sastra, baik di kancah bergengsi dalam negeri dan mancanegara. Penghargaan Dimny O'Hearn Prize for Translation, Australia (1977), South East Asia Write Award, Bangkok, Thailand (1997), Chatulistiwa Literary Award (2005) adalah beberapa di antaranya, namun penerima Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ini menolak Ahmad Bakrie Award (2012) untuk bidang kesusastraan dari Freedom Institute. Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diangkat ke layar lebar. Hingga kini fotografer dan komikus ini adalah dosen di Fakultas Film dan Televisi serta Sekolah Pascasarjana IKJ.
Seminar Nasional IKJ
Delivering Messages Between Spaces
- Institut Kesenian Jakarta
- Online Zoom (Sesi 1)
- Online Gmeet (Sesi 2)
Kontak Kami
Kampus Institut Kesenian Jakarta
Gedung Rektorat Lt. 2
Jalan Cikini Raya No. 73, Jakarta 10330